Diskursus kebudayaan beberapa tahun terakhir dimeriahkan oleh tajuk bahasan yang ganti berganti dipergumulkan. Semula muncul posmo, tetapi karena content yang tak jelas reaksi pasar pun lemah belaka, meski buying power konsumen tak dapat dikatakan lemah, maka posmo segera dipindahkan dari etalage toko. Kemudian dipasarkan multikulturisme dan cultural studios, lagi-lagi pasar tak bereaksi. Saya memprakira, pemasaran produk eks impor itu dengan niat pencarian identitas Nasional. Tetapi tampaknya produk siap pakai itu tidaklah cocok dengan keperluan domestik, karenanya reaksi pasar pun bagitu lemahnya.
Dalam pengalaman Pancasila, sales yang kuat sekali pun tidak menjamin kontinuitas pasar. Apalagi sales amatiran. Yang bekerja tanpa survai pasar sehingga tidak memahami apa sesungguhnya hajat keperluan orang ramai. Akhirnya bertindak seperti tukang klontong, seminggu berjualan kompor, minggu berikutnya sudah berjualan pengki.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah perlukah mencari (memformulasi) identitas Nasional itu. Jawabnya adalah tidak perlu lagi.
Masyarakat kebudayaan Indonesia dipersatukan oleh bahasa Melayu sejak berabad lampau, bukan oleh yang lain. Sementara di bidang kebudayaan, masyarakat Indonesia tetap setia kepada kebudayaan etnik masing-masing yang membentuk identitas mereka. Persatuan Indonesia bersifat politik, sajak Van Hertz sampai Proklamasi Kemerdekaan. Kita sendiri yang mengatakan bahwa ekspresi seseorang itu adalah ekspresi suku bangsa A, atau B, tetapi masyarkat luar Indonesia mengatakannya sebagai ekspresi orang Indonesia. Indonesia sebagai satuan budaya tidak perlu diwujudkan, atau paling sedikit kemubaziran kalau pun tidak kejadian suatu keributan phisik. KeIndonesiaan kita lebih kepada persoalan kewarganegaraan daripada persoalan kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan tetaplah bhinneka, tidak perlu di”tunggal ika”kan. Kalau pun kelak ia menjadi “tunggal ika” biarlah oleh suatu proses yang wajar, mungkin menelan masa ribuan tahun. Tapi tolonglah dikaji pengalaman bangsa Iraq di bidang ini, bangsa Iraq (Babel) setelah proses musta ‘ribah (peng Araban) lewat jalan bahasa ribuan tahun, tidak pernah kehilangan identitas Babylonia-nya. Iraq masa lampau adalah Babyilon, dan jejak masa lampau itu masih dapat diidentifikasi sekarang.
Ringkasnya, tidak mudah main tunggal ika-tunggal ikaan dalam kebudayaan. Biarlah semboyan “Bhinneka tunggal ika” terjepit kaki burung garuda dalam lambang negara Garuda Pancasila ciptaan Sultan Hamid II. Dari segi estetika, lambang itu cukup indah cipandang mata.
Minggu, 14 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar